NABI
PALSU
Apa yang dikatakan Alkitab?
Dalam hidup bermasyarakat kini dan di sini kita
jumpai, bahwa biasanya presiden melalui jurubicaranya menyampaikan pesannya
kepada publik, dengan mempergunakan alat komunikasi yang ada. Dan pesan itu
dicatat oleh para wartawan, bahkan menggunakan alat elektronik perekam gambar
dan berita, agar tidak salah kutip dan dapat ditelusuri keaslian pesan
presiden.
Alkitab Perjanjian Lama bersaksi, bahwa Allah
mempergunakan cara ber-komunikasi yang mirip dengan itu, tetapi tanpa gambar,
untuk menyampaikan pesan-Nya kepada umat-Nya. Dan jurubicara yang menyampaikan
pesan itu dinamakan nabi, yakni yang bergender laki-laki, dan nabiah bagi yang
perempuan.
Dalam kasus jurubicara presiden, isi pesan menjadi
titik sentral perhatian wartawan dan publik. Hal yang sama kita jumpai juga
pada pesan seorang nabi. Karena isi pesan itulah, yang merupakan kriterium
dalam menentukan palsu tidaknya sang nabi, yang menyampaikannya.
Marilah kita menelusuri apa yang dikatakan Alkitab
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mengenai nabi palsu, dan perkembangan
terkini mengenai komersialisasi jabatan kenabian.
KESAKSIAN PERJANJIAN LAMA
Apabila kita memperhatikan Yeremia dan rekan-rekan
seangkatannya, maka isi pesannya (Yer. 4:19), ialah mengenai derita dan
siksaan, karena kejahatan dan kemurtadan umat Allah. Namun, berbeda dengan
Yeremia, ada nabi seangkatan yang memberikan pesan kenabian, tetapi diametral
berbeda orientasinya. Dalam hubungan ini, Tuhan berfirman “….semuanya
mengejar untung, baik nabi maupun imam, semuanya melakukan tipu. Mereka
mengobati luka umat-Ku dengan memandangnya ringan, katanya: Damai sejahtera!
Damai sejahtera!, tetapi tidak ada damai sejahtera.” (Yer. 6:13-14).
Itulah komersialisasi jabatan kenabian zaman purba, di
mana pesan kenabian yang diberikan itu berorientasi kepada apa yang ingin
didengar oleh umat Allah. Maka para nabi palsu pun dengan antusias memberikan
jasa pesan kenabian, yang sesuai minat dan selera “pasar,” berdasarkan hukum
demand and supply. Preferensi dan kesukaan “pasar” kita jumpai pada kesaksian
nabi Yesaya, yang merekam keinginan umat Allah agar: “Janganlah lihat bagi
kami hal-hal yang benar, tetapi katakanlah hal-hal yang manis.” (Yes.
30:10).
Kisah konfrontasi antara nabi Amos dan rekannya yang
palsu, dengan tetap menggunakan pesan sebagai tolok ukur, dapat kita jumpai
dalam kasus penggunaan faktor kebanggaan nasional Israel. Alkitab Perjanjian
Lama mengisahkan tentang benturan hebat antara nabi Amos dan imam Amazia dari
Betel (Amos 7:10-13). Terdorong rasa kebanggaan nasionalnya, Amazia menuduh
Amos melakukan makar, yang didakwanya di hadapan raja Yerobeam. Tetapi
kepalsuan pesan imam Amazia, dan kebenaran nubuatan nabi Amos mengenai
kejatuhan Israel, kemudian terbukti secara faktual. Bukan saja kerajaan Israel
jatuh, tetapi raja Yerobeam mati, dan umat Israel ditawan dan dibuang oleh
bangsa Asyur.
KESAKSIAN PERJANJIAN BARU
Kesaksian mengenai nabi palsu dilanjutkan oleh Alkitab
Perjanjian Baru. Bahkan Kristus sendiri merasa perlu untuk menasehatkan agar
umat-Nya tetap waspada dan berjaga-jaga. Oleh karena itu, Ia bersabda: “Pada
waktu itu jika orang berkata kepada kamu: Lihat, Mesias ada di sini, atau
Mesias ada di sana, jangan kamu percaya. Sebab Mesias-mesias palsu dan
nabi-nabi palsu akan muncul dan mereka akan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat
dan mujizat-mujizat, sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan orang-orang
pilihan juga.” (Mat. 24:23-24).
Gereja purba ternyata harus menghadapi apa yang telah
dinubuatkan Kristus, sehingga dalam konteks itu surat-surat rasuli perlu
mengulangi nasehat tersebut (Bandingkan 2 Pet. 2:1 dan 1 Yoh. 4:1). Mengenai
“tanda-tanda yang dahsyat dan mujizat-mujizat,” bahwa hal itu dibantu dan
dihasilkan oleh roh jahat, dan bukan Roh Kudus (Wah. 13:11-15). Dalam hubungan
itu, Rasul Paulus menasehati jemaat Efesus, agar bertekun untuk: …”mencapai
kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh,
dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita
bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran,
oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi
dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam
segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” (Ef. 4:13-16).
Mengenai masalah ke-waspadaan terhadap nabi-nabi
palsu, kiranya masih belum lengkap, apabila tidak kita kutip juga nasehat Rasul
Yohanes: “…janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu,
apakah mereka berasal dari Allah: sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah
muncul dan pergi ke seluruh dunia. Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap
roh, yang tidak mengaku Yesus, tidak berasal dari Allah. Roh itu adalah roh
antikristus dan tentang dia telah kamu dengar, bahwa ia akan datang dan
sekarang ini sudah ada di dalam dunia ” (1 Yoh.4:1-3).
KEADAAN TERKINI
Kita telah jumpai komersialisasi jabatan kenabian di
zaman nabi Yeremia dan Yesaya, yang berorientasi kepada selera “pasar,”
sehingga pesan mereka dimasukkan dalam kategori pesan nabi palsu. Motivasi itu
menghadirkan ekuasi permintaan publik dan pasokan yang diatur oleh nabi yang
bersangkutan, menurut hukum demand and supply.
Dalam zaman Perjanjian Baru, Kristus, Sang Raja Gereja
sendiri, yang menasehatkan umat-Nya agar waspada terhadap nabi palsu. Gereja
purba mengalaminya, yang dibuktikan oleh pesan-pesan pastoral para rasul, yang
kita jumpai dalam Alkitab Perjanjian Baru.
Abad ke-21 ternyata lebih seru dan serba canggih
tingkat komersialisasinya. Nabi-nabi palsu yang bermunculan, bahkan lengkap
dengan buku-bukunya untuk merobah dan menggeser Alkitab, yang dianggap telah
demikian kuno. Bahkan Kristus sendiri pun dianggap bukan Juruselamat Dunia,
tetapi hanya seorang guru yang bijaksana. Namun, sungguh pun telah menolak
Kristus, tetapi anehnya mereka masih tetap merasa diri sebagai bagian dari umat
kristiani. Inilah gejala gunting dalam lipatan.
Di pihak lain gejala komersialisasi itu terlihat pada
gelagat sementara pemimpin umat perkotaan, yang merasa perlu untuk menggunakan
gelar kesarjanaan, tetapi langsung menyandang gelar S3, tanpa perlu melalui
strata S1 dan S2. Gelar itu ditempelkan pada nama pemilik sebagai ornamen untuk
kepentingan multi-level marketing dalam merebut dan meningkatkan jumlah anggota
di masyarakat perkotaan (money center).
Paradigma demikian tidak mungkin dapat memberikan
tempat bagi pelayanan Firman kepada masyarakat di pedalaman, karena di sana
sama sekali tidak ada daya tariknya. Itulah beliau-beliau, yang ramai meriah
menghiasi nama dengan rangkuman gelar kesarjanaan semua strata akademis,
misalnya: Pdt. Dr. Ir. Polan Agustus, BSc, MA, PhD.
Gejala yang paling terkini, ialah keberanian yang luar
biasa untuk menggunakan gelar prophet/nabi, dan apostle/rasul untuk memenuhi
selera “pasar,” dan ternyata bermuara kepada usaha pemantapan projected cash
flow. Dan ini adalah bagian dari gaya pengelolaan industri jasa (service
industry). Yang mempelopori gerakan ini ialah mereka dari negara Paman Sam,
sebagai trend setter. Mode tersebut sekarang sudah kita impor, sama seperti
misalnya dalam rangka franchising kita mengimpor penggunaan brand name:
Kentucky Fried Chicken, sang raja junk food.
Memang lafal prophet kebetulan sekali sangat mirip
dengan lafal profit. Jadi kalau media massa baru-baru ini ramai-ramai
memberitakan munculnya seorang nabi di sebuah kota di Jawa Barat, maka itu
adalah domestic variety dari produk internasional yang dikemukakan di atas.
Jadi harap maklum!
Sumber Referensi : Paul.P.Poli, SH
Tiada ulasan:
Catat Ulasan